cerita dewasa dan Kenanganku Di Kota Bogor


cerita dewasa dan Kenanganku Di Kota Bogor



cerita dewasa ini terjadi sekitar sebulan yang lalu. Saya

berumur 23 tahun baru lulus dari salah satu universitas

ternama di Jakarta. Dan saya berasal dari keluarga baik-

baik. Kejadian ini dimulai ketika saya menginap di rumah

om saya di daerah Bogor. Om saya telah menikah dan

memiliki 2 anak lelaki yang lucu (umur 3 dan 5 tahun),

serta memiliki istri yang cukup cantik (menurut saya)

umurnya sekitar 27 tahun.

Awal kejadiannya adalah pada hari sabtu malam saya

mendengar pertengkaran di rumah tersebut, yang tidak lain

adalah om saya dengan tante saya. Ternyata penyakit

‘gatel’ om saya kambuh lagi yaitu sering pergi ke diskotik

bersama temannya. Hal tersebut sangat menyakitkan tante

saya, karena di sana om saya akan mabuk-mabukan dan

terkadang pulangnya bisa pada hari Minggu malam.

Entahlah apa yang dilakukan di sana bersama teman-

temannya. Dan pada saat itu hanya aku bertiga saja di

rumah: saya, Om Pram dan Tante Sis.

“Brak..” suara gelas pecah menghantam pintu, cukup

membuat saya kaget, dan om saya dengan marah-marah

berjalan keluar kamar. Dari dalam kamar terdengar tante

saya berteriak, “Nggak usah pulang sekalian, cepet

ceraikan aku.” Dalam hatiku berkata, “Wah ribut lagi.” Om

Pram langsung berjalan keluar rumah, menstarter mobil

Timornya dan pergi entah ke mana.

Di dalam kamar, aku mendengar Tante Sis menangis. Aku

mau masuk ke dalam tapi takut kena damprat olehnya

(kesalahan Om Pram dilimpahkan kepadaku). Tapi aku jadi

penasaran juga. Takut nanti terjadi apa-apa terhadap Tante

Sis. Maksudku akibat kecewa sama Om Pram dia langsung

bunuh diri.

Pelan-pelan kubuka pintu kamarnya. Dan kulihat dia

menangis menunduk di depan meja rias. Aku berinisiatif

masuk pelan-pelan sambil menghindari pecahan gelas

yang tadi sempat dilemparkan oleh Tante Sis. Kuhampiri

dia dan dengan pelan.

Aku bertanya, “Kenapa Tan? Om kambuh lagi?”

Dia tidak menjawab, hanya diam saja dan sesekali

terdengar isak tangisnya. Cukup lama aku berdiri di

belakangnya. Pada waktu itu aku hanya memandangnya

dari belakang, dan kulihat ternyata Tante Sis mengenakan

baju tidur yang cukup menggiurkan. Pada saat itu aku

belum berpikiran macam-macam. Aku hanya

berkesimpulan mungkin Tante Sis mengajak Om Pram,

berdua saja di rumah, karena anak-anak mereka sedang

pergi menginap di rumah adik Tante Sis. Dan mungkin juga

Tante Sis mengajak Om bercinta (karena baju yang

dikenakan cukup menggiurkan, daster tipis, dengan warna

pink dan panjang sekitar 15 cm di atas lutut). Tetapi Om

Pram tidak mau, dia lebih mementingkan teman-temannya

dari pada Tante Sis.

Tiba-tiba Tante Sis berkata, “To, Om kamu kayaknya udah

nggak sayang lagi sama Tante. Sekarang dia pergi bersama

teman-temannya ke Stardust di Jakarta, ninggalin Tante

sendirian di rumah, apa Tante udah nggak cakep lagi.”

Ketika Tante Sis berkata demikian dia berbalik menatapku.

Aku setengah kaget, ketika mataku tidak sengaja menatap

buah dadanya (kira-kira berukuran 34). Di situ terlihat

puting susunya yang tercetak dari daster yang

dikenakannya. Aku lumayan kaget juga menyaksikan tubuh

tanteku itu.

Aku terdiam sebentar dan aku ingat tadi Tante Sis

menanyakan sesuatu, aku langsung mendekatinya (dengan

harapan dapat melihat payudaranya lebih dekat lagi).

“Tante masih cantik kok, dan Om kan pergi sama

temannya. Jadi nggak usah khawatir Tan!”

“Iya tapi temennya itu brengsek semua, mereka pasti

mabuk-mabukan lagi dan main perempuan di sana.”

Aku jadi bingung menjawabnya. Secara refleks kupegang

tangannya dan berkata, “Tenang aja Tan, Om nggak bakal

macem-macem kok.” (tapi pikiranku sudah mulai macam-

macam).

“Tapi Tante denger dia punya pacar di Jakarta, malahan

Tante kemarin pergoki dia telponan ama cewek, kalo nggak

salah namanya Sella.”

“Masak Om tega sih ninggalin Tante demi cewek yang baru

kenal, mungkin itu temennya kali Tan, dan lagian Tante

masih tetap cantik kok.”

Tanpa Tante Sis sadari tangan kananku sudah di atas paha

Tante Sis karena tangan kiriku masih memegang

tangannya. Perlahan-lahan pahanya kuusap secara halus,

hal ini kulakukan karena aku berkesimpulan bahwa tanteku

sudah lama tidak disentuh secara lembut oleh lelaki.

Tiba-tiba tanganku yang memegang pahanya ditepis oleh

Tante Sis, dan berdiri dari duduknya, “To, saya tantemu

saya harap kamu jangan kurang ajar sama Tante, sekarang

Tante harap kamu keluar dari kamar tante sekarang juga!”

Dengan nada marah Tante Sis mengusirku.

Cukup kaget juga aku mendengar itu, dan dengan perasaan

malu aku berdiri dan meminta maaf, kepada Tante Sis

karena kekurangajaranku. Aku berjalan pelan untuk keluar

dari kamar tanteku. Sambil berjalan aku berpikir, aku

benar-benar terangsang dan tidak ingin menyia-nyiakan

kesempatan ini. Sejak aku putus dengan pacarku, terus

terang kebutuhan biologisku kusalurkan lewat tanganku.

Setelah sampai di depan pintu aku menoleh kepada Tante

Sis lagi. Dia hanya berdiri menatapku, dengan nafas

tersenggal-senggal (mungkin marah bercampur sedih

menjadi satu). Aku membalikkan badan lagi dan di

pikiranku aku harus mendapatkannya malam ini juga.

Dengan masa bodoh aku menutup pintu kamar dari dalam

dan menguncinya, lalu langsung berbalik menatap tanteku.

Tante Sis cukup kaget melihat apa yang aku perbuat.

Otakku sudah dipenuhi oleh nafsu binatang.

“Mau apa kamu To?” tanyanya dengan gugup bercampur

kaget.

“Tante mungkin sekarang Om sedang bersenang-senang

bersama pacar barunya, lebih baik kita juga bersenang-

senang di sini, saya akan memuaskan Tante”. Dengan

nafsu kutarik tubuh tanteku ke ranjang, dia meronta-ronta,

tetapi karena postur tubuhku lebih besar (tinggiku 182 cm

dan beratku 75 kg, sedangkan Tante Sis memiliki tinggi

tubuh sekitar 165 cm dan berat kurang lebih 50 kg) aku

dapat mendorongnya ke ranjang, lalu menindihnya.

“Lepasin Tante, Dito,” suara keluar dari mulutnya tapi aku

sudah tidak peduli dengan rontaannya. Dasternya

kusingkap ke atas. Ternyata Tante Sis tidak mengenakan

celana dalam sehingga terpampang gundukan bukit

kemaluannya yang menggiurkan, dan dengan kasar kutarik

dasternya bagian atas hingga payudaranya terpampang di

depanku. Dengan bernafsu aku langsung menghisap

putingnya, tubuh tanteku masih meronta-ronta, dengan

tidak sabar aku langsung merobek dasternya dan dengan

nafsu kujilati seluruh tubuhnya terutama payudaranya,

cukup harum tubuh tanteku.

Akibat rontaannya aku mengalami kesulitan untuk

membuka pakaianku, tapi pelan-pelan aku dapat membuka

baju dan celanaku. Sambil membuka baju dan celanaku itu,

dengan bergantian tanganku mengusap bukit kemaluannya

yang menurutku mulai basah (mungkin Tante Sis sudah

mulai terangsang walaupun masih berkurang tetapi

frekuensinya agak menurun sedikit).

Dengan tidak sabar aku langsung berusaha membenamkan

kejantananku ke liang kewanitaannya. “To, jangan To, aku

Tantemu tolong lepasin To, ampun, Tante minta ampun”.

Aku sudah tidak peduli lagi rengekannya. Ketika lubang

senggamanya kurasa sudah pas dengan dibantu cairan

yang keluar dari liang kewanitaannya aku langsung

menghujamkan senjataku.

“Auuhh, sakit To, aduh.. Tante minta ampun.. tolong To

jangan.. lepasin Tante To..” Ketika mendengar rintihannya,

aku jadi kasihan, tetapi senjataku sudah di dalam, “Maaf

Tante, saya sudah tidak tahan dan punyaku sudah masuk

ke dalam, saya akan berusaha membuat Tante

menikmatinya, tolong Tante sekali ini saja, biarkan saya

menyelesaikannya,” bisikku ke telinganya. Tante Sis hanya

diam saja. Dan tidak berkata apa-apa.

Dengan pelan dan pasti aku mulai memompa kemaluanku

naik turun, dan Tante Sis sudah tidak meronta lagi. Dia

hanya diam pasrah dan kulihat air matanya berlinang

keluar. Kucium keningnya dan bibirnya, sambil

membisikkan, “Tante, Tante masih cantik dan tetap

mengairahkan kok, saya sayang Tante, bila Om sudah tidak

sayang lagi, biar Dito yang menyayangi Tante.” Tante Sis

hanya diam saja, dan kurasakan pinggulnya pun ikut

bergoyang seirama dengan goyanganku.

Kira-kira 10 menit aku merasakan liang kewanitaan tanteku

semakin basah dan kakinya menyilang di atas pinggulku

dan menekan kuat-kuat (mungkin dia sudah orgasme), dan

tidak lama kemudian akupun mengeluarkan spermaku di

dalam liang senggamanya. Setelah pemerkosaan itu kami

hanya diam saja. Tidak berkata apa, hanya diam. Aku

sendiri harus ngapain. Tanteku kembali menitikkan air

matanya. Dan aku pamit kepadanya, untuk keluar

kamarnya, aku terus merenung, mengapa bisa begini.

Itulah kisahku. Sejak kejadian itu hubunganku dengan

tanteku menjadi renggang. Aku bingung dengan apa yang

harus kulakukan. Sudah sebulan aku tidak lagi ke Bogor,

karena ada perasaan malu. Tetapi Tante Sis tidak

menceritakan kepada siapapun kejadian ini, dan kadang

jika malam aku tidur, selalu terbayang kejadian waktu itu.

Ingin rasanya aku melakukan kembali tetapi aku takut.

Maaf aku tidak menceritakannya secara vulgar, karena ini

terjadi begitu saja.